Agama dan Pendidikan

Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Agama adalah sumber motivasi dan inspirasi tingkah laku seseorang sebagai individu atau dalam pergaulan sosial yang lebih luas. Karena agama pada dasarnya berintikan ajaran-ajaran moral sebagai pandangan hidup seseorang yang tak bisa lepas dari lingkungan masyarakat sekitarnya. Begitu pula keadaan obyektif sosial pada hakikatnya merupakan ekspresi umum dari situasi subyektif warga masyarakat itu sendiri.

Agama mempunyai fungsi ganda, yaitu, pertama sebagai motivasi unutk menumbukan etos yang positif (amar ma’ruf) dan mencegah hal negatif (nahi munkar). Sedangkan di sisi lain agama berfungsi psikologis untuk memberikan ketenteraman tatkala batin seseorang sedang goncang, tatakala hati sedang bimbang, dan tatkala hawa nafsu sedang bergejolak untuk mencari kepuasan dengan melanggar kewajiban dirinya. Agama berfungsi pula sebagai hidayah. Agar orang tidak begitu saja melanggar rambu-rambu moral. Agama juga memberi pegangan agar seseorang tak hanyut dalam lingkungan negatif yang melingkupi dirinya, di mana tidak jelas yang salah dan mana yang benar.

Sebenarnya, di negeri ini nilai-nilai dan ajaran agama telah merasuk dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sistem pembangunan yang merupakan model khas Indonesia ini merupakan perwujudan konkret dari Negara Pancasila yang bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler. Pembangunan dengan model ini harus dilakukan oleh manusia Pancasilais yang sejak dini sudah dibekali dengan kemampuan untuk maju dan mandiri.

Pendidikan
Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun manusia Indonesia seutuhnya, yaitu yang beriman dan bertakwa kepda Tuhan dan berbudi pekerti luhur serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Pendidikan tinggi merupakan tempat dimana gagasan, pemikiran, dan ilmu pengetahuan dapat diuji secara jujur, terbuka, dan leluasa. Di samping itu yang tak bisa dilepas adalah pedoman moral sebagai aturan mengenai nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang merupakan pedoman moral bagi pendidik dan yang dididik.

Terlihat jelas kesejajaran antara nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan dan nilai yang bersumber dari ajaran agama. Kejujuran akademis merupakan nilai sentral dalam kehidupan sebuah lembaga pendidikan. Karena itu, antara etika akademis dan etika yang bersumber pada nilai agama sesungguhnya terdapat hubungan yang menguatkan. Sejalan dengan itu, sejarah menunjukkan bahwa perguruan tinggi yang bergengsi pada umumnya dilahirkan oleh umat yang beragama. Einstein pernah berkata bahwa “Science without religion is blind, and religion without science is lame.”

Pembinaan mental dan moral di lingkungan pendidikan menuntut dua hal yang sangat mendasar. Pertama, metode pendidikan dialogis yang membuka seluas-luasnya kesempatan untuk bertanya, betapapun kritisnya pertanyaan tersebut. Kedua, keteladanan konkret yang mencerminkan kualitas mental dan moral yang tinggi dari semua pihak yang terlibat dalan penyelenggaraan pendidikan. Jika kedua hal tersebut dapat dipenuhi maka lembaga pendidikan akan dapat benar-benar berfungsi sebagai penggodokan kader-kader bangsa yang selain cerdas, kritis, kreatif juga sekaligus bermoral.

Selain itu yang tak bisa dilepaskan adalah pusat-pusat pendidikan yang lain yaitu keluarga maupun lingkungan sosial masyarakat. Sejauh apapun pengembaraan intelektual yang ditempuh, ia tak pernah terlepas dari jati diri sebagai bangsa yang dipandu oleh nilai-nilai luhur Pancasila dan ajaran agama.

Sejak awal kita bersepakat untuk memanusiawikan pembangunan kita. Kita tidak ingin menjadi manusia mesin tanpa jiwa dan kalbu, dan sekadar menjadi masyarakat teknologis semata. Kita tak ingin terjebak dan terperosok ke dalam penderitaan dan kesalahan bangsa lain dalam membangun masa depan. Masa depan yang diinginkan rakyat adalah masyarakat yang berkeseimbangan antara kesejahteran ekonomi dan kesejahteraan batinnya.

Pembangunan akhirnya bertemu dengan pelakunya, yakni sumber daya manusia. Implementasi etika dalam pembangunan juga bertemu dengan isu sumber daya manusia sebagai pelaku pembangunan. Pembangunan manusia sebagai insan tercermin dalam nilai-nilai antara lain beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama dan ilmu, bersikap amanah, sadar akan harga diri bangsanya, memiliki kepercayan diri, cerdas, terbuka, demokratis, dan memiliki kesadaran berbangsa dan bernegra.

Adapun pembangunan manusia sebagai sumber daya pembangunan menekankan manusia sebagai pelaku yang memiliki etos kerja produktif, keterampilan, kreatif, disiplin, profesionalisme serta memiliki kemampuan untuk memanfaatkan, mengembangkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang berwawasan lingkungan maupun kemampuan manajemen.

Kita menyadari bahwa kualitas manusia sebagai insan menjadi perhatian yang pertama dan utama dalam meningkatkan sumber daya manusia, karena menjadi dasar dari kehidupan dirinya. Keberhasilan pembangunan manusia sebagai insan seutuhnya akan menentukan keberhasilan membangun manusia Indonesia pada sisi lainnya, yaitu pelaku yang tangguh dalam membangun diri dan lingkungannya atas dasar etika moral dan akhlak yang mulia.

Pembangunan bangsa, apabila di tangan orang yang tak bertanggung jawab dapat membahayakan manusia Indonesia. Oleh karena itu, watak, mental, dan moral mutlak harus selalu berjalan di depan membimbing dan memberi arah kepada segala kemampuan yang dikerahkan dalam melaksanakan pembangunan negeri ini.

Hidup Tak Mulia, Mati Tak Syahid

DALAM suatu hadis Kudsi dika­takan, “barang siapa tak mampu men­cukupi dirinya di dunia, tak ada tempat baginya di surga.” Ke­cukupan yang dimaksud bukan hanya kecukupan material, tetapi juga ke­cukupan mental. Pada kenyataannya, per­sepsi tentang kecukupan bersifat subjektif, karena itu sangat ditentukan oleh kondisi mental-kejiwaan seseorang.

Kemiskinan material memang bisa men­dekatkan seseorang pada kekufuran, tetapi kemiskinan mental lebih gawat dari itu: kehinaan di dunia dan akhirat. Da­lam kemiskinan mental, orang tak bisa melihat sisi positif pengalaman hi­dupnya. Siapa yang tak bisa berdamai de­ngan masa lalunya tak bisa melihat ke­baikan hari ini. Siapa yang tidak bisa melihat kebaikan hari ini, tak bisa me­lihat harapan kebahagiaan pada kehidupan mendatang di dunia. Siapa yang tak bisa melihat kebahagiaan hidup di dunia, berharap segera memperoleh ke­bahagiaan di akhirat dengan cepat-ce­pat mengakhiri hidupnya.

Orang-orang miskin mental memang be­rani mati, tetapi tak berani hidup. Pa­dahal, tidak ada jalan pintas menuju sur­ga. Janji-janji surgawi hanya bisa diraih lewat keberanian hidup, kesabaran berjuang mengatasi tantangan dan ma­salah zaman, dalam rangka membe­rikan kebahagiaan hidup warga bumi.

Dalam kemiskinan mental, orang ju­ga tak bisa hidup dalam perbedaan. Per­bedaan selalu dipandang dengan ke­curigaan dan permusuhan. Dalam ke­sempitan mental, tak bisa muncul ke­besaran jiwa.

Berbeda dengan langit, yang dalam keluasannya mampu memberikan ruang bagi matahari, bulan, bintang, dan semua yang terkait dengannya, Orang yang sempit jiwanya, tak bisa menerima kehadiran yang lain. Perbedaan harus dihabisi dengan pengucilan dan penyerangan.

Dalam aksi-aksi terorisme, kebencian pada perbedaan dan jalan pintas menuju surga menyatu dalam aksi bom bunuh diri. Pekik yang dikumandangkan, “Hidup mulia atau mati syahid”. Na­mun kenyataannya, “Hidup tak mulia, mati pun tak syahid”. Ke­­bencian pada hidup membuat hidupnya di dunia tak bisa mulia. Sia­pa yang tak bisa hidup mu­lia di du­nia tidak mengem­bangkan ke­syahidan (kesungguhan) menjelang kematian -dengan keberanian mengolah kehidupan- melainkan mengembangkan kepengecutan dengan bunuh diri dan mem­bunuh orang. Orang yang ma­ti syahid me­wariskan kebahagiaan dan kebaikan pada kehidupan. Orang yang mati pengecut mewariskan ke­sengsaraan dan keburukan pada kehidupan.

Dengan demikian, terorisme bukanlah sebab, melainkan korban dari kemiskinan (material dan mental). Seperti diutarakan da­lam ‘Pesan Ramadan Vatikan, “Kemiskinan telah menodai dan merendahkan martabat manusia/kemanusiaan dan tidak jarang menjadi penyebab keterasingan, kemarahan, bahkan kebencian dan hasrat untuk membalas dendam.” Usaha pemberantasannya ti­dak cukup dengan mengem­bang­kan kekerasan dan pembunuhan serupa, melainkan perlu mengata­si akar permasalahannya.

Terorisme muncul akibat ter­gang­gunya basis-basis keadilan dan dunia kehidupan. Keadilan hu­kum terganggu ketika rule of law tidak berjalan. Jika warga ne­gara gagal memperoleh perlin­dungan dari negara, secara alamiah mereka akan mencari perlin­dungan dari sumber-sumber yang lain; bisa dalam bentuk premanis­me, koncoisme, etnosentrisme, dan fundamentalisme.

Ketidakadilan ekonomi me­nyulut kesempitan jiwa (fanatisis­me). Fanatisisme berkembang subur saat berhadapan dengan ketimpangan ekonomi-politik. Ketimpangan ini sebagian merupakan warisan aneka diskriminasi kolonial maupun rezim-rezim oto­riter pascakolonial. Tetapi, sum­ber ketimpangan sosial-ekonomi baru yang tidak kalah penting adalah konsekuensi globalisasi dan neoliberalisme.

Globalisasi dan perluasan eko­nomi pasar tidak selalu membe­rikan kabar gembira. Bagi keba­nyakan masyarakat terbelakang, ke­duanya lebih sering membawa bencana. Globalisasi adalah anak kandung modernitas, sedangkan mo­dernitas adalah kelanjutan proyek pencerahan yang belum se­lesai. Proyek pencerahan ini mengandaikan kepercayaan kepada prinsip-prinsip universal, ka­rena prinsip-prinsip tersebut da­pat berlaku dalam situasi lintas sejarah dan budaya dengan se­gala keunikannya. Prinsip yang bertumpu atas dasar univer­salitas ini sering tidak mewadahi semua keinginan dan harapan warga dunia sehingga acapkali me­lahirkan kekerasan.

Kekerasan merupakan respons balik sebagian kalangan terha­dap upaya globalisasi seluruh tat­anan; politik, sosial, ekonomi, bu­daya, bahkan agama. Di satu sisi, globalisasi memberikan kemudahan terpenuhinya segala kebutuhan manusia serta membuka peluang bagi kompetisi global. Di sisi lain, globalisasi men­ciptakan ketidakadilan distributif dan tercerabutnya manusia dari akar eksistensinya.

Globalisasi, menurut Habermas, merupakan keniscayaan se­jarah, tetapi juga telah mengin­jeksikan kepalsuan dalam spiral komunikasi sehingga dalam prak­tiknya sering melahirkan dis­torsi komunikatif. Resistensi dari sebagian kelompok tertentu bah­kan memanifestasi dalam tin­dakan teror yang ditimbulkan oleh distorsi komunikasi. Globa­lisasi secara kejam telah membagi dunia ke dalam kelompok pe­menang dan pecundang.

Terorisme berjalin-berkelindan dengan pemahaman fanatis-dogmatis dalam menafsirkan doktrin-doktrin agama ketika meres­pons modernitas. Fundamentalis­me adalah reaksi terhadap kegagalan sekularisasi dan ekstensifikasi rasionalitas instrumental atas dunia kehidupan (Lebens­welt), yang telah mencerabut bentuk-bentuk kehidupan tradisio­nal mereka. Ketercerabutan yang diikuti oleh homogenisasi budaya dan identitas membuat war­ga masyarakat mengalami kete­r­­asingan dari komunitasnya. De­ngan demikian, fundamentalisme bukanlah sesederhana gerak kembali kepada cara pra-modern dalam memahami agama, tetapi lebih sebagai respons panik dalam menghadapi modernitas dan globalisasi.

Berbeda dengan Huntington yang melihat akar tunjang terorisme pada bentrok antar peradaban (baca: agama), Habermas menjangkarkannya pada ketimpangan ekonomi-pasar, meskipun punya implikasi keagamaan. Menurutnya, ekonomi pasar menyuburkan konsumerisme, yang melahirkan ledakan di tengah lapisan penduduk dunia yang merasa paling dirugikan berupa reaksi spiritual sebagai alternatif mengatasi masalah global. Reaksi ini termanifestasi dalam sikap religius yang berlebihan dan menutup kemungkinan komunikasi dengan dunia luar.

Singkat kata, betapapun kita membenci terorisme, kemunculannya harus menjadi bahan kritik bagi seluruh warga bumi untuk mengembangkan kehidup­an glo­bal yang lebih adil dan beradab.

Saatnya Jihad untuk Membangun Peradaban

SUATU hari di Pa­lestina, seorang pe­muda (sebut saja Omar) me­ngadakan acara per­pisahan de­ngan anggota keluarga dan te­man-teman dekatnya. Satu per satu ke­luarga dan temannya menjabat tangan dan mencium keningnya sebagai tanda per­pisahan. Berpisah untuk selamanya, karena Omar tengah bersiap menuju ke­matian, demi meraih kehidupan yang le­bih sejati dan membahagiakan.

Dengan mengenakan jaket agak longgar dan mengenakan ikat pinggang di­sertai ba­han peledak sekitar lima kilo­gram, Omar dengan tenang berjalan ke pa­sar, pu­sat keramaian warga Israel. Tak lama ke­­mudian terdengar ledakan, se­dikitnya 12 orang meninggal dan 30 orang terlu­ka. Omar ikut meninggal ber­sama mereka.

Bagaimana mesti memahami serentetan peristiwa bunuh diri dengan bom se­perti yang dilakukan Omar di Pales­tina itu? Demikian juga yang terjadi di In­donesia akhir-akhir ini? Para psikolog Barat dengan segera menyimpulkan bah­wa mental mereka sakit. Namun, se­karang mulai berkembang berbagai teori yang hendak menjelaskan menga­pa ada sekelompok pemuda yang antusias melakukan bunuh diri dengan me­ledakkan bom.

Dari hasil penelitian terhadap 400 ang­gota Al Qaidah, 90 persen datang dari keluarga yang hangat dan baik-baik, usia berkisar 18-38 tahun. Dua per ti­ga sarjana, memiliki keluarga, dan ma­yoritas bekerja dalam bidang sains dan engineering. Mereka adalah anak-anak yang cerdas dalam lingkungannya. Jad­i, anggapan bahwa mereka me­miliki mental sakit (abnormal psy­chology) dianggap tidak tepat.

Ada juga teori cuci otak (brainwashed). Ibarat komputer, program dan memori lama dihapus, lalu diganti dengan yang baru. Caranya, dihadirkan fakta dan argumen serta indoktrinasi adanya mu­suh besar yang hendak meng­hancurkan diri dan kelompoknya. Dalam konteks radikalisme Islam, agresi Israel yang didukung AS sudah cukup sebagai amunisi untuk mengobarkan semangat mati syahid, terutama bagi pemuda-pe­muda Palestina.

Seperti ditunjukkan oleh berbagai penelitian sosial, radikalisme-terorisme itu pada mulanya bersifat sekuler, yaitu perlawanan ter­hadap musuh luar yang hendak me­rampas dan menguasai tanah air mereka. Keberanian mati de­ngan menerjang kekuatan musuh dibuktikan secara impresif, misalnya, oleh pasukan Kamikaze Jepang dan tentara Vietnam. Sema­ngat dan kesiapan mati itu me­nguat ketika ditambah amunisi keya­kinan agama bahwa mati melawan orang kafir itu termasuk mati syahid, imbalannya surga. Se­mangat itu berkobar di kalangan pemuda-pemuda Palestina dan dulu di Indonesia ketika melawan penjajah Belanda. Dengan teriakan Allahu Akbar dan senjata bambu runcing, para pejuang itu siap menjemput maut yang diyakini pintu gerbang menuju surga.

Berbagai peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini memerlukan analisis dan studi khusus, mengingat Indonesia bukanlah Palestina, bukan Afganistan, bukan pula daerah perang melawan penjajah Belanda seperti zaman dulu. Bahkan, umat Islam Indonesia saat ini memiliki surplus kebebasan daripada semasa Orde Baru. Pintu terbuka lebar untuk mendirikan partai politik Islam. Bank Syariah bermunculan, dakwah pun tanpa izin. Bah­kan, melalui parpol dan ormas Islam serta Departeman Agama, berbagai aspirasi untuk melaksanakan ajaran Islam sangat kondusif.

Oleh karena itu, tindakan radikalisme-terorisme dengan dalih membela Islam menjadi slogan dan tindakan anomali di Indonesia yang dikenal sebagai kantong umat Islam terbesar itu. Terlebih lagi yang menjadi korban juga se­sama muslim.

Kalah dan Marah

Secara psikologis, para teroris itu sesungguhnya orang yang kalah dan putus asa. Mereka merasa ter­ancam oleh musuh besar yang sulit dikalahkan dengan diplomasi dan perang sehingga jalan ter­murah dan heroik, menurut me­reka, adalah melalui teror. Me­minjam logika ekonomi, dengan teror bom bunuh diri, modal yang di­keluarkan sedikit, namun diharapkan hasilnya besar, berlipat-lipat. Tapi, logika ini sangat menyesatkan karena justru umat Islam secara umum sangat dirugikan oleh tindakan sekelompok teroris tersebut, jauh lebih besar kerugiannya ketimbang pihak lawan yang dijadikan sasaran. Kalau me­reka maksudnya membela Islam, benarkah posisi Islam dan umatnya menjadi lebih baik?

Jadi, di balik antusiasme untuk ‘’mati syahid’’, sesungguhnya secara psikologis mereka itu merupa­kan komunitas yang merasa kalah dalam persaingan politik, ekonomi, dan militer. Lalu, mereka ma­rah dan membalas dendam di luar medan perang dan yang menjadi saran adalah masyarakat sipil tan­pa senjata. Situasi itu sangat bertolak belakang dari apa yang dila­kukan Salahuddin Al Ayyubi, pang­lima Perang Salib, yang justru me­ng­ajak gencatan senjata ka­rena Ri­chard the Lion Heart, pang­l­ima pihak Kristen, lagi sakit. Bah­kan, Al Ayyubi mengutus dokter pribadinya untuk mengobati dia. Setelah Richard sehat, perang dimulai lagi.

Akar dari terorisme-radikalisme itu, antara lain, adalah krisis kepercayaan diri, krisis rasa aman, krisis ekonomi, dan krisis ilmu pe­ngetahuan. Dengan begitu, yang muncul adalah marah, dendam, me­ngamuk di luar medan tempur, dan ujungnya melakukan bom bunuh diri. Dulu Rasulullah dan para sahabat ketika menaklukkan Makkah tak ada darah yang menetes. Mes­ki­pun, para sahabat sudah sangat siap dan bersemangat untuk berpe­rang. Yang terjadi justru pengampunan masal dan memperkuat kem­bali tali persaudaraan.

Itu terjadi karena umat Islam sa­ngat percaya diri secara militer, namun yang lebih penting lagi Ra­sulullah senang pada perdamaian dan melarang balas dendam kepa­da musuh-musuhnya. Sikap ramah dan toleran juga diperlihatkan oleh umat Islam pada abad tengah, ketika secara ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan tidak merasa ter­ancam, bahkan unggul.

Sejak masih di pesantren, saya sudah terbiasa mendengar slogan Isy kariman au mut syahidan, hidup­lah terhormat atau mati syahid. Slo­gan itu sangat cocok dan dapat di­mengerti ketika umat Islam ber­ada dalam medan tempur, misalnya, ketika Tariq bin Ziyad dan ten­taranya hendak menaklukkan Andalusia dulu. Agar semangat jihad anak buahnya tetap tinggi, se­telah mendarat di Andalusia, se­mua kapal dibakar sehingga tak ada pilihan lain kecuali menghadapi musuh. Di situlah Tariq bin Ziyad menyampaikan pidato agitatif yang sangat terkenal dan diajarkan di lingkungan pesantren.

Kira-kira isi pidato tersebut de­mikian: Saudara-saudaraku seiman, di belakang Anda adalah laut­an. Di depan adalah musuh. Kalau hati Anda kecut dan ingin lari, lautan akan menyambutmu dan Anda akan mati konyol karena kapalmu telah tiada. Tetapi, ka­lau Anda serbu dan lawan musuh, kemenangan di tangan Anda. Kejayaan di dunia dengan me­menangi perang atau kejayaan di akhirat kalau Anda mati.

Untuk jangka waktu sekitar lima abad, Andalusia dikuasi Islam dan menjadi pusat peradaban dunia. Kini peperangan sudah berganti me­dan, dari perang fisik ke perang ekonomi, sains, persenjataan, dan peradaban. Rupanya, Jepang sangat sadar perubahan ini setelah kalah dalam Perang Dunia. Mereka tidak lagi mengandalkan pasukan berani mati dalam menghadapi supremasi Barat, tetapi mereka melakukan revolusi pendidikan, teknologi, dan industri sehingga negara dan bangsa yang kecil itu di­segani Barat.

Meminjam bahasa pesantren, Jepang berjihad membangun per­adaban dan merebut keunggulan da­lam hidup, bukan mengandalkan keberanian untuk mati. Dunia Islam mestinya belajar dari Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan kalau ingin memenangi pertempuran melawan Barat. Bukankah kejayaan Islam pada abad te­ngah disangga oleh kemajuan ilmu pengetahuan, bukan pertempuran, kemarahan, kebencian, dan putus asa menjalani kehidupan?

Hiduplah terhormat karena ber­­hasil membangun prestasi per­adaban. Dan, siapa yang mati membebaskan umat dari ke­mis­­kinan dan kebodohan dengan niat ibadah, insya Allah, termasuk mati syahid.

Hidup Beradab, Mati pun Berbudaya

DARI perspektif akidah, Islam memperkenalkan konsep keesaan Tuhan. Dan, itu dimulai dari keberadaan Nabi Muhammad di Makkah, di te­ngah masyarakat yang ma­sih jahiliyah yang menga­nut paganisme. Selama 13 tahun, Nabi Mu­hammad bersosialisa­si di Makkah dengan me­nawarkan prinsip teologi la ilaha illa Allah. Di sam­ping secara teologis, bermakna penegasan tidak ada Tuhan yang absolut ke­cuali Allah, pernyataan ke­imanan ini juga memberikan dampak sosial politik. Yaitu, manusia dibangun atas dasar kebersamaan, kebebasan, dan persamaan derajat (al-musawah bain al-nas).

Nabi Muhammad lalu hijrah ke Yatsrib. Ia dinamakan Yastrib karena yang pertama datang dan membangun kota itu adalah seseorang yang bernama Yastrib ibn Laudz ibn Sam ibn Nuh

Masyarakat Kota Yatsrib cukup ber­agam. Ada sejumlah suku do­­minan yang mendiami kota itu, yaitu suku Aus, Khazraj, Qainuqa’, Quraidlah, dan Bani Nadhir.

Penduduknya pun menganut ber­agam agama, yaitu Islam, Ya­hudi, dan sebagian kecil Kristen Najran. Dalam masyarakat Islam sendiri terdapat dua kelom­pok, yaitu kaum imigran (Muhaji­rin) dan warga asli (Anshar).

Pola interaksi yang dibangun Islam sejak awal berupa dinami­sasi yang mengedepan­kan pola us­wah hasanah. Yakni, berdasar pada moralitas dan contoh teladan yang baik. Pendekatan moralitas ini menuntut umat Islam untuk selalu menjadi uswah atau teladan yang baik bagi lingkungan se­kitarnya. Tak heran jika sejak awal eksis­tensinya di Makkah, umat Islam sudah akomodatif dan kreatif. Metode uswah al-hasanah adalah gerakan beragama yang bersifat soft power, yaitu menjunjung tinggi keteladanan, moralitas, pembelaan terhadap kaum duafa, dan penegakan hak-hak asasi manusia.

Praksis dakwah Islam ini merupakan bagian dari proses pemba­ngunan moralitas (itmam al-khu­luq). Ajaran Islam tidak pernah digunakan untuk melakukan tindakan anarkis, seperti pemaksaan, in­ti­midasi, atau terorisme.

Syariat berasal dari kata syara’, ber­arti jalan. Syariat dapat diartikan sebagai jalan kehidupan yang baik, yaitu nilai-nilai agama yang diaplikasikan secara fung­sio­nal dan dalam makna konkret untuk mengarahkan kehidupan ma­nusia. Maka, yang dimaksud sya­riat Islam ada­lah tuntunan Islam yang meliputi segala aspek ke­hidupan manusia. Yakni, mulai moralitas, seruan pada pe­ne­ga­kan hukum, keadilan, mencip­takan kemakmuran, dan upaya mening­katkan sumber daya manusia.

Di masa Nabi Muhammad, sya­riat menampilkan dua aspek da­lam dirinya, yaitu aspek ek­sote­rik dan esoterik. Sisi eksote­rik syariat Islam, seperti kewajib­an puasa, zakat, atau haji baru sempurna ketika kondisi sosial politik serta ekonomi masyarakat Ma­dinah sudah sampai ke situasi stabil dan kukuh. Dari kondisi plural ini lahirlah “Negara Madi­nah”. Konsep Negara Madinah ter­tuang dalam al-Shahifah (Piagam Madinah) yang mengan­dung nilai universalitas: keadilan, kebebasan, persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan yang sama di mata hukum.

Dalam Piagam Madinah ini ti­dak di­temukan teks-teks apa pun yang menunjuk­kan superiori­tas simbol-simbol Islam. Se­perti ka­ta “Islam”, “ayat Alquran” atau “syariat Islam”. Kota Yatsrib pun berganti nama menjadi “Madinah”, yang berasal dari kata ta­maddun, yang berarti “peradaban”. Maksudnya, kota atau ne­gara yang mencita-citakan tatanan masyarakat berperadaban. Dan, untuk mewujudkannya, Na­bi Muhammad mengembangkan konsep ukhuwah madaniyah. Yakni, komitmen bersama untuk hi­dup dalam sebuah kota atau ne­geri yang berperadaban.

Dalam kerangka ukhuwah seper­ti ini, masyarakat Madinah betul-betul merasa betah dengan pola penegakan syariat Islam yang dipraktikkan Nabi Muhammad di Madinah. Misalnya, ketika mendengar ada penduduk Madinah beragama Yahudi terbunuh, Nabi Muhammad segera memobilisasi dana masya­rakat untuk kemudian diberikan kepada pihak keluarganya. “Barang siapa yang membunuh non­muslim, maka ia akan berha­dap­an dengan saya,” tegas Nabi.

Melalui pengalaman Nabi Muhammad di Madinah ini, syariat Islam lebih bermakna sebagai upaya untuk saling menghormati dan menghargai, tolong-menolong, cinta tanah air, serta mewujudkan keadilan dan kemakmuran. Dari pengertian inilah, Islam pun dikenal dengan penegakan syariat secara kaffah. Dalam Alquran sendiri, tidak kita jumpai kata-kata “umat Islam”. Apalagi, kata-kata “negara Islam”. Alquran lebih me­me­rintahkan untuk membangun ummat­an wasathan dan khoiru ummah.

Ada lagi aspek hadlarah (kebudayaan) dan tsaqafah (peradaban). Kita perlu mempertimbangkan aspek ilmu pengetahuan dan peradaban. Maka, di sini berlaku Islam sebagai din al-’ilm wa al-tsaqafah. Islam tidak hanya berputar-putar pada persoalan akidah dan syariah yang selama ini sering diperdebatkan dan bahkan menghasilkan tindakan radikalisme agama dan juga terorisme.

Dalam aspek tsaqafah dan hadlarah ini, Islam mengajar kita bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif dan produktif. Ketika Islam membangun peradaban di wilayah yang dulu dikenal dengan Andalusia (Spanyol), sejarah menorehkan tinta emas tentang pencapaian-pencapaian yang diraih para ulama dan cendekiawan dari berbagai kalangan penganut agama.

Kebenaran itu adalah milik bersama. Dari mana pun dia berasal, kita akan menerimanya. Ini yang ditunjukkan dalam pe­ngalaman sejarah umat Islam yang mengadopsi, misalnya, bentuk kubah dan menara dalam bangunan masjid. Padahal, kubah berasal dari bentuk bangunan khas Romawi, sementara menara dari Persia. Menara berasal dari kata manara, yang berarti tempat perapian orang-orang Majusi.

Dalam bidang ilmu pengetahuan, inter­aksi umat Islam dengan tradisi pengetahu­an Yunani-Romawi dan Persia, melapangkan jalan bagi mereka untuk mem­­bangun peradaban agung di bebe­rapa belahan dunia. Ilmu manthiq atau lo­gika yang menjadi kebanggaan tradisi ke­ilmuan Islam, adalah produk perjumpa­an umat Islam dengan tradisi non-Islam. Ajakan Nabi untuk menuntut ilmu hingga ke negeri China, menjadi pemicu bagi kebangkitan tsaqafah dan hadlarah di kalangan umat Islam itu.

Islam memang datang dari negeri Arab. Kata Arab secara etimologis berarti menggelinding atau bergerak. Ini mengisyaratkan kalau kehadiran Islam akan terus bergerak dinamis, bukannya statis atau stagnan.

Jelaslah bahwa tsaqafah dan hadlarah akan terbangun dari manusia-manusia yang aktif dan produktif. Dan, di situlah hikmah manusia diciptakan. Dia akan belajar, mencari, dan memetik pelajaran dan kebenaran dari mana pun asalnya. Dua aspek ini yang kerap dilupakan, sehingga membuat umat Islam ketinggal­a­n dalam kompetisi membangun peradaban dewasa ini. Saya istilahkan umat Is­lam sebenarnya “nonmuslim” dalam bi­dang tsaqafah dan hadlarah. Sedangkan orang-orang Barat adalah “nonmuslim” dalam bidang akidah dan syariah.

Menggalang Kehidupan Damai Bersama

Pada dasarnya, setiap individu memiliki posisi dan nilai yang sama sebagai manusia untuk memperoleh kehidupan yang damai. Jika kesadaran ini terbentuk, maka akan tercipta harmoni sebab tidak akan ada lagi individu yang merasa dirinya lebih baik atau lebih unggul daripada orang lain.

Demikian ide-ide dasar kosmopolitanisme yang dikemukakan Associate Professor of Philosophy Faculty of Arts Deakin University, Australia, Stan van Hooft, di Jakarta Selasa (6/10).

”Setiap individu itu penting, tidak peduli apa pun keyakinannya. Jika kosmopolitanisme ini disadari benar nilai-nilainya, maka tidak akan pernah ada satu orang pun yang menganggap orang lain lebih rendah atau lebih buruk,” ujarnya.

Tetapi, persoalan akan muncul ketika perasaan seperti nasionalisme atau rasisme berkembang. Nasionalisme dan rasisme adalah contoh bentuk tindakan agresif yang memisahkan kita dari orang lain atau memisahkan suatu kelompok masyarakat dengan kelompok lain yang memicu perasaan lebih unggul.

Nasionalisme, kata Hooft, menjadi masalah karena terfokus pada dirinya sendiri dan ada perasaan bangsanya lebih baik daripada bangsa lain. Kontras dengan kosmopolitanisme yang memandang semua individu penting dan punya nilai yang sama.

Di tempat terpisah, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia di UNESCO Arief Rahman, mengatakan bahwa pendidikan memiliki peran penting untuk menanamkan pemahaman dan nilai perdamaian bagi generasi muda. “Langkah ini penting untuk menciptakan kehidupan bersama yang jauh dari kekerasan,” ujarnya usai pembukaan Konferensi Pemuda Internasional bertajuk ”The Role of Youth to Establish Peace, Toward a Future World without Violent Radicalization,” di Serang, Banten, Selasa (29/9).

Konferensi pemuda yang dihadiri 150 pemuda dari 20 negara, itu untuk berbagi informasi serta pengalaman di negaranya masing-masing dalam menghadapi tindak kekerasan. Konferensi yang digagas UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa) bekerja sama dengan Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga serta Pemerintah Provinsi Banten ini merupakan wujud keprihatinan terhadap pemuda dan anak-anak yang sering menjadi korban kekerasan. Pemuda dari lima benua tersebut mendiskusikan rekomendasi yang akan dibawa dalam Sidang Tahunan UNESCO di Paris.

”Indonesia dipilih sebagai tempat konferensi karena dianggap sebagai laboratorium kehidupan manusia di dunia karena memiliki kebhinekaan kultur, agama, dan keragaman lainnya,” ujar Arief Rahman.

Indonesia juga dinilai memiliki prestasi karena memiliki Undang-Undang (UU) Kepemudaan yang akan dijadikan masukan bagi negara-negara di dunia yang belum memiliki UU serupa.

Arief mengatakan bahwa ada empat tema yang melandasi rekomendasi Deklarasi Banten, yakni peranan pendidikan, peranan pemuda dan olahraga, peranan media, dan peranan masyarakat.

Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Banten Iin Mansyur mengatakan, Deklarasi Banten merupakan hasil pembahasan dan kesepakatan peserta konferensi, yang ingin mencegah kekerasan dan radikalisme di dunia. Serta keinginan agar pemuda dapat berperan dalam menjaga dan meningkatkan perdamaian dunia.

Perbedaan Jangan Jadikan Perpecahan

Menurut Atho, dialog multikultural ini harus terus diadakan di semua provinsi yang ada dengan secara selektif memilih kota-kota yang dapat dijadikan sample sebagai lokasi kunjungan para peserta dari berbagai Ormas Islam. Selain itu, sumbangan yang diberikan kepada masjid-masjid kiranya dapat ditambah, hingga dana yang diterima masing-masing nanti cukup untuk modal pemberdayaan umat itu. Demikian pula masjid-masjid yang dipilih, hendaknya benar-benar sudah melaksanakan pemberdayaan itu secara kongkret. ”Meskipun sebuah masjid itu, misalnya, sedang merintis pemberdayaan umat secara sederhana—dapat saja kita dorong dengan bimbingan yang semestinya serta dana yang memadai,” ujarnya.

Dengan dialog, kata dia, telah terjadi tukar-menukar pengalaman antar ormas satu dengan yang lain. Akhirnya menyadarkan para peserta, bahwa memang terasa berbeda satu dengan yang lain tapi tak perlu dibedakan, namun justru harus disatukan untuk kepentingan bersama. Kepentingan bersama itu adalah upaya pemberdayaan ekonomi ummat secara bersama-sama (berjama’ah) melalui masjid atau majlis ta’lim yang selama ini sudah berkembang pesat. Kerja sama (ta’awun) antar Muslim Indonesia memang akan membawa banyak maslahah bagi umat, dan diyakini mampu melenyapkan stigma perbedaan (ikhtilaf dalam bidang furu’) yang cenderung merusak ukhuwwah yang dicita-citakan.

”Untuk mencapai itu, diharapkan peran da’i dan muballigh untuk menyebarkan informasi yang benar bagi tujuan-tujuan pencapaian kesejahteraan bersama. Harus ditegaskan pada umat bahwa musuh bersama kaum Muslimin saat ini adalah kemiskinan dan kebodohan. Jika kita bersatu dan bersepakat untuk melenyapkannya pasti kita bisa asal jangan menjadikan perbedaan dalam ormas itu sebagai sebab terjadinya perpecahan. Motto Ukhuwwah Islamiyah harus mewujud dalam bentuk kerjasama yang baik antar umat untuk mencapai kesejahteraan dunia maupun akhirat,” jelasnya.

IPTEK dan Pengembangan Peradaban Islam

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pingasaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh adalah tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS al-Baqarah [2]: 164)

Siapakah yang mendominasi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini? Siapakah yang menguasai perekonomian dan perdagangan dunia? Siapakah yang menjadi negara adikuasa di dunia ini? Jawabannya, bukan negara berpenduduk Muslim mayoritas, tapi negara Barat. Negara-negara Barat saat ini menjadi pelopor ilmu pengetahuan dan teknologi serta perdagangan. Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi baru selalu berasal dari negara Barat, bukan negara-negara Muslim. Negara-negara Muslim hanya menjadi konsumen (pemakai) dari produk teknologi, bukan pencipta.

Kehidupan negara-negara berpenduduk Muslim mayoritas juga dihimpit kemiskinan. Kecuali Saudi Arabia, Kuwait, dan Malaysia, negara-negara Muslim, berdasarkan data yang dikeluarkan Bank Dunia dan IMF, dikategorikan sebagai negara miskin. Dua realitas ini, yaitu kemiskinan dan kebodohan, selalu mengakrabi kehidupan umat Islam.

Kehidupan umat Islam saat ini jika dibandingkan dengan kehidupan umat Islam di abad ke-10 sungguh sangat kontras sekali. Umat Islam di abad ke-10 mampu menjadi umat yang terbaik (khairu ummah) pada masanya. Saat itu umat Islam mampu menjadi pelopor dalam bidang ilmu pengetahuan dan menjadi “sumbu” peradaban dunia serta juga mempunyai kekuasaan politik yang terbentang luas.

Di masa yang disebut sebagai masa keemasan Islam ini lahir pemikir-pemikir Muslim yang sampai saat ini namanya masih harum, misalnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd serta Ibnu Khaldun. Ibnu Sina adalah pelopor dalam bidang ilmu kedokteran yang konon buku karangannya fi ‘ilmi at-Thib (tentang ilmu kedokteran) sampai saat ini menjadi rujukan ilmu kedokteran. Ibnu Rusyd disebut masyarakat Barat sebagai “al-Muallim ats-Tsani” (the second teacher), pelanjut filsafat Aristoteles. Sedangkan Ibnu Khaldun adalah pelopor ilmu sosiologi. Buku karangannya yang berjudul al-Muqaddimah disebut sebagai buku sosiologi yang pertama ada di dunia.

Mengapa Umat Islam Mundur
Kemegahan peradaban Islam mulai surut dengan jatuhnya Baghdad di tangan pasukan Mongol. Pasukan Mongol saat meruntuhkan kekuasaan Baghdad membakar habis buku-buku hasil penalaran otak kaum muslim. Menurut A.J. Toynbee, pembakaran buku-buku di perpustakaan Baghdad membuat umat Islam mundur dua abad ke belakang.

Tapi menurut intelektual asal Pakistan Fazlur Rahman, penyebab fundamental kemunduran umat Islam adalah perubahan pola pikir. Setelah masa ini, menurut Fazlur Rahman, umat Islam hanya mengabadikan hasil pemikiran umat Islam masa lalu dan tidak berusaha menggali serta mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga perkembangan pemikiran umat Islam mengalami stagnasi (jumud).

Perubahan lain yang terjadi di tubuh umat Islam setelah kejatuhan Baghdad adalah pandangan terhadap Alquran. Kalau umat Islam di abad ke-10 membaca Alquran dilanjutkan dengan penelitian atas fenomena alam yang ditunjuk Alquran, umat Islam setelahnya membaca Alquran tidak diikuti dengan penelahan atas fenomena alam yang dibicarakan Alquran, tapi sebatas mengimaninya saja. Pembacaan terhadap Alquran hanya ditujukan untuk mendapatkan pahala, tidak lebih.

Inilah penyebab kenapa umat Islam mengalami kemunduran dalam bidang ilmu pengetahuan. Sedangkan kemiskinan menjalar ditubuh umat Islam karena paham yang menyatakan bahwa baik-buruknya nasib umat Islam adalah suratan takdir Ilahi. Kemiskinan dianggap sebagai takdir Ilahi yang tidak bisa diubah. Padahal dalam sebuah ayat dinyatakan perubahan akan terjadi jika umat Islam mau berusaha merubahnya (QS ar-Ra’d [13]: 11).

Kembali ke masalah ilmu pengetahuan, sebenarnya Islam adalah agama yang mengajarkan umatnya untuk selalu berpikir dan merenungi fenomena alam. Kita bisa melihat dari banyak ayat-ayat Alquran yang memerintahkan umat Islam untuk selalu berpikir, meneliti dan merenungi fenomena alam. Dari olah pikir dan renungan fenomena alam inilah umat Islam akan menemukan sebuah ilmu pengetahuan yang baru yang bisa membangkitkan peradaban. Tapi ironis, ternyata yang melaksanakan perintah berpikir dan merenungi kekuasaan Allah yang “terjelma” di jagad raya adalah non muslim.

Saat ini umat Islam hanya membaca Alquran tidak disertai pemahaman dan penelahaan atas makna kandungannya. Sikap ini sangat dikecam oleh Rasullulah. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ibnu Hibban Rasulullah bersabda, “Telah diturunkan kepadaku satu ayat tadi malam. Celakalah bagi orang yang membacanya, tetapi tidak mau memikirkan (maksudnya)-nya, celaka baginya.” (HR Muslim & Ibnu Hibban).

Integrasi Imu
Keadaan ini semakin diperparah dengan pola pikir sebagian besar umat Islam yang mendikotomikan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum, termasuk sains dan teknologi. Umat Islam menomorduakan sains dan teknologi. Umat Islam menganggap hanya mempelajari ilmu agama yang mendapatkan pahala, sedangkan belajar ilmu pengetahuan umum tidak mendapatkan pahala. Padahal segala usaha yang diniatkan tulus untuk mencapai keridhaan Allah dinilai pahala di sisi-Nya.

Perubahan pola pikir ini atau mengintegrasikan Islam dan ilmu pengetahuan adalah solusi mengeluarkan umat Islam dari keterpurukan dan mengejar ketertinggalannya dari masyarakat Barat. Penghilangan dikotomi antara ilmu pengetahuan dan teknologi dengan Ilmu Agama sebenarnya bisa dilakukan dengan menelaah dan mempelajari kembali ayat-ayat Alquran yang menyeru kaum Muslim untuk mempelajari apa yang ada di langit dan di bumi. Sedangkan mengangkat keterpurukan umat Islam dalam bidang ekonomi bisa dilakukan dengan melaksanakan perintah Alquran kepada umat Islam untuk senantiasa memanfaatkan alam. Berikut ayat yang memerintahkan dua hal tersebut:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,” (QS Ali Imran [3]: 190)

“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi…” (QS Yunus [10]: 101)

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandang (nya),” (QS al-Hijr [15]: 16)

Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran kami kepada orang-orang yang mengetahui,” (QS al-An’am [6]: 97)

“Dan kami telah ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia…” (QS al-Hadid [57]: 25)

“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang bersampingan, dan kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan tidak bercabang, disirami dengan air yang sama, Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain, tentang rasa (dan bentuknya). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”. (QS ar-Ra’d [13]: 4)

“Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah, ‘Buatlah sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di rumah-rumah yang didirikan manusia! kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itulah keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat yang menyembuhkan bagi bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan,’” (QS an-Nahl [16]: 68-69)

Perintah dari ayat di atas itulah yang diabaikan umat Islam dan dipraktikkan oleh masyarakat Barat sehingga umat Islam mengalami kemunduran dan Barat mencapai kemajuan. Untuk menghibur diri, umat Islam menyatakan kemajuan yang dicapai Barat saat ini tidak lepas dari bantuan umat Islam masa lalu. Hal ini memang benar, tapi realitas umat Islam saat ini seharusnya menyadarkan umat Islam bahwa romatisme masa lalu tidak akan merubah keadaan. Umat Islam saat ini akan bangkit jika giat melakukan mempelajari ilmu pengetahuan dan memanfaatkan sumber daya alam. Mustahil umat Islam maju tanpa melakukan dua hal ini.
Di abad ke-10 umat Islam maju karena memperlajari ilmu pengetahuan Yunani untuk kemudian mengembangkan dan mewarnainya dengan nilai-nilai Islam. Begitu juga umat Islam saat ini, mereka harus belajar dari Barat karena di sanalah sumber Ilmu pengetahuan sebagaimana Yunani dulu menjadi sumber ilmu pengetahuan.

Umat Islam jangan menganggap segala yang datang dari Barat sebagai hal yang berbahaya bagi agama Islam dan umatnya. Yang diperlukan adalah sikap selektif; membuang yang buruk dan mengambil yang baik. Kemajuan yang dicapai Barat haruslah dipelajari, bukan dimusuhi. Sikap memusuhi apa yang datang dari Barat akan kontraproduktif bagi kemajuan umat Islam.
Wallahu a’lamu bis shawab.