Menggalang Kehidupan Damai Bersama

Pada dasarnya, setiap individu memiliki posisi dan nilai yang sama sebagai manusia untuk memperoleh kehidupan yang damai. Jika kesadaran ini terbentuk, maka akan tercipta harmoni sebab tidak akan ada lagi individu yang merasa dirinya lebih baik atau lebih unggul daripada orang lain.

Demikian ide-ide dasar kosmopolitanisme yang dikemukakan Associate Professor of Philosophy Faculty of Arts Deakin University, Australia, Stan van Hooft, di Jakarta Selasa (6/10).

”Setiap individu itu penting, tidak peduli apa pun keyakinannya. Jika kosmopolitanisme ini disadari benar nilai-nilainya, maka tidak akan pernah ada satu orang pun yang menganggap orang lain lebih rendah atau lebih buruk,” ujarnya.

Tetapi, persoalan akan muncul ketika perasaan seperti nasionalisme atau rasisme berkembang. Nasionalisme dan rasisme adalah contoh bentuk tindakan agresif yang memisahkan kita dari orang lain atau memisahkan suatu kelompok masyarakat dengan kelompok lain yang memicu perasaan lebih unggul.

Nasionalisme, kata Hooft, menjadi masalah karena terfokus pada dirinya sendiri dan ada perasaan bangsanya lebih baik daripada bangsa lain. Kontras dengan kosmopolitanisme yang memandang semua individu penting dan punya nilai yang sama.

Di tempat terpisah, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia di UNESCO Arief Rahman, mengatakan bahwa pendidikan memiliki peran penting untuk menanamkan pemahaman dan nilai perdamaian bagi generasi muda. “Langkah ini penting untuk menciptakan kehidupan bersama yang jauh dari kekerasan,” ujarnya usai pembukaan Konferensi Pemuda Internasional bertajuk ”The Role of Youth to Establish Peace, Toward a Future World without Violent Radicalization,” di Serang, Banten, Selasa (29/9).

Konferensi pemuda yang dihadiri 150 pemuda dari 20 negara, itu untuk berbagi informasi serta pengalaman di negaranya masing-masing dalam menghadapi tindak kekerasan. Konferensi yang digagas UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa) bekerja sama dengan Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga serta Pemerintah Provinsi Banten ini merupakan wujud keprihatinan terhadap pemuda dan anak-anak yang sering menjadi korban kekerasan. Pemuda dari lima benua tersebut mendiskusikan rekomendasi yang akan dibawa dalam Sidang Tahunan UNESCO di Paris.

”Indonesia dipilih sebagai tempat konferensi karena dianggap sebagai laboratorium kehidupan manusia di dunia karena memiliki kebhinekaan kultur, agama, dan keragaman lainnya,” ujar Arief Rahman.

Indonesia juga dinilai memiliki prestasi karena memiliki Undang-Undang (UU) Kepemudaan yang akan dijadikan masukan bagi negara-negara di dunia yang belum memiliki UU serupa.

Arief mengatakan bahwa ada empat tema yang melandasi rekomendasi Deklarasi Banten, yakni peranan pendidikan, peranan pemuda dan olahraga, peranan media, dan peranan masyarakat.

Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Banten Iin Mansyur mengatakan, Deklarasi Banten merupakan hasil pembahasan dan kesepakatan peserta konferensi, yang ingin mencegah kekerasan dan radikalisme di dunia. Serta keinginan agar pemuda dapat berperan dalam menjaga dan meningkatkan perdamaian dunia.

Tinggalkan komentar